.

7 Desember 2013

Catatan PUSAKA #8 (11 November 2013)






sanggar jejak surakarta


Ngobrolke film dokumenter “Wiwit” karya Aditya Nur Rahmad
Perjalanan Ritual Masa Kini

 Mbok sri sadono wis teko, wis tit wancine diboyong nang omahe pak tani”. 

Kalimat tersebut adalah penggalan dari bacaan mantra pada proses ritual panen padi di wonosari gunung kidul yogyakarta. Ritual ini selalu digelar petani setempat setiap akan memulai panen padi. Ritual ini merupakan bentuk syukur kepada Tuhan atas berkah panen padi yang melimpah. Ritual dimulai dengan menyiapkan ubo rampe atau sesaji berupa nasi tumpeng, ingkung ayam kampung, bunga mawar, dan sayur kluweh ke areal persawahan. Ritual dilanjutkan dengan doa yang dipimpin tokoh masyarakat. Dalam ritual ini, padi yang sudah siap panen dipotong untuk disimpan atau dijadikan benih pada musim tanam berikutnya. Padi yang dipotong adalah Pari Manten yaitu rumpunan padi yang saling berhadapan. Biasanya terdapat di pojok atau tengah sawah. 

Nusantara merupakan bangsa kesatuan dengan daerah-daerah yang secara relatif lebih terbuka terhadap perubahan-perubahan, terutama disebabkan oleh faktor komunikasi yang memungkinkan lebih cepatnya pembukaan isolasi daerah.

Dalam tiap masyarakat, baik yang kompleks maupun yang sederhana, terdapat sejumlah nilai budaya, satu dengan yang lain saling berkaitan hingga membentuk suatu sistem. Sistem tersebut dijadikan sebagai pedoman dari konsep-konsep ideal dalam kebudayaan, dan memberi pendorong yang kuat terhadap arah kehidupan warga masyarakat kemudian menjadi warisan kebudayaan yang bervariatif dan memiliki ciri berbeda antara wilayah yang satu dengan lainnya. Namun demikian warisan tersebut ada yang masih lestari dan terawat dengan baik sampai sekarang dan ada pula yang sedang berjalan menuju kelangkaan. Setiap masyarakat menciptakan gambaran-gambaran ideal yang diidam-idamkan mengenai bagaimana seharusnya anggota masyarakat berperilaku, baik dalam fikiran maupun tindakan.

            Pada Pusaka yang ke-8 pada tanggal 11 November 2013, kami memutarkan film dokumenter garapan Aditya Nur Rahmad yang berjudul “Wiwit” , yang juga dijadikan bahan obrolan sebagai contoh kasus terkait ritual tradisi masyarakat yang perlahan mulai ditinggalkan.

            Wiwit  dalam lingkungan masyarakat Tuban Jawa Timur adalah laku ritual yang dilaksanakan saat menjelang panen padi. Ritual ini dilakukan sebagai ungkpan para petani kepada sang pencipta agar selalu melindungi hasil pertanian mereka dari segala bencana. Masyarakat yang masih melestarikan ritual Wiwit ini percaya bahwa serangan hama yang berdampak pada gagalnya panen adalah sebab tidak dilaksanakannnya ritual Wiwit. Selain berfungsi untuk permohonan agar mendapat perlindungan, ritual Wiwit juga sebagai bentuk rasa syukur kepada sang pencipta. Diantara apa saja yang akan dilakukan oleh petani dan kaitannya, mereka sadari sebagai bagian dari makhluk Tuhan. Diakui pula keberadaan mereka sebagai mahluk Tuban, juga ditakdirkan untuk berdoa dan mengucapkan rasa syukur kepada penciptanya.

sanggar jejak surakarta
salah satu scene dalam film dokumenter Wiwit

            Saat ini, ritual yang sudah turun temurun tumbuh berkembang dalam masyarakat petani di Tuban perlahan memudar. Bahkan dalam lingkungan masyarakat petani itu sendiri pun sudah banyak yang meninggalkannya. Ini terjadi dikalangan petani yang muda. Para petani yang muda tak lagi melakukan ritual Wiwit tersebut karena mereka beranggapan bahwa melakukan aktifitas wiwit atau tidak, panen tetap akan berlangsung. Berhasil atau gagalnya sebuah panen bergantung pada cekatan mereka dalam menggunakan sistem pertanian modern.

Pada awalnya, masuknya agama dari luar kedalam masyarakat nusantara tidak serta merta menghilangkan citarasa dan bentuk pengagungan yang sebelumnya digunakan dalam kepercayaan-kepercayaan pada masyarakatnya, dengan demikian, terbentuklah akulturasi antara budaya akar  yang berkaitan dengan kepercayaan leluhur yang di anut serta agama-agama yang datang kemudian di nusntara.

            Namun pada perkembangannya saat ini, ritual tradisi menjadi kontradiktif saat berhadapan dengan pola pikir ilmiah, terlebih lagi terhadap suatu bentuk keyakinan/agama tertentu. Selain disebabkan oleh sistem bercocok tanam modern, pengikisan terjadi juga karna sebagian masyarakat mengnggap bahwa ritual-ritualyang dilaksanakan adalah syirik.

            Beberapa pelaksanaan ritual yang masih bertahan saat ini seperti Grebeg Suro dan Grebeg Maulud, disebabkan karena ritual tersebut diakomodir oleh pihak kraton. Sehingga tata caranya masih dianggap sebagai warisan yang adiluhung dan patut dilestarikan. Sedangkan beberapa ritual tradisi yang pengelolanya adalah masyarakat di luar kraton, bertahan atau tidak ditentukan oleh masyarakat di mana ritual tersebut tumbuh. Ritual yang berkembang dalam akomodasi kraton, akan sangat sulit memberikan kesan menyalahi aturan agama sebab masyarakat pelaku sudah terlanjur meyakini bahwa setiap aktifitas ritual yang ditradisikan oleh kraton adalah lelaku yang agung. Sedangkan hal tersebut tidak terjadi dalam peristiwa ritual yang di akomodir masyarakat jauh di luar benteng kraton.

            Beberapa seniman-seniman, baik itu dari seni rupa maupun seni pertunjukan, menjadikannya sebagai ide gagasan dalam upaya berbicara melalui karya. kolase-kolase peristiwa laku ritual dipetik untuk dijadikan ornamen karya. Hanya saja sayangnya, usaha para seniman  dalam membicarakan peliknya pelstarian laku ritual tersebut, hanya berhenti pada tataran karya saja dan tidak berkelanjutan diluar dunia kegelisahannya.

            Dalam dunia seni yang akademis, permasalahan kelangkaan peristiwa ritual tradisi sudah menjadi bahan kajian. Lalu, yang menjadi pertanyaan kita sekarang ialah seberapa efektif dunia seni yang “akademis” dalam melakukan upaya konservasi budaya?.

Seperti biasanya, pusaka tak membuat suatu kesimpulan. Sebab jika disimpulkan, sama artinya kami membuat koridor berfikir. Kami mencoba membebaskan khalayak untuk membuat kesimpulannya masing-masing agar nantinya hal ini menjadi kegelisahan bersama.
Sampai jumpa dipelaksanaan Pusaka berikutnya. Salam Budaya.

*Notulen - Bureg Sandeq