.

20 November 2012

Catatan Pusaka (Puja Sastra Surakarta) #5



    20 november 2012
( Reportoar, Sastra & Rupa )
Narasumber ; Gayuh Setyono, Irul Cakrawala dan Robot Briasanda.


Seni, perwujudan rasa indah dari dalam jiwa manusia, dilahirkan dengan perantaraan suatu media ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh panca indra. Sastra, ciptaan manusia yang mengekspresikan pikiran, gagasan, pemahaman serta respon tentang segala hal mengenai kehidupan dengan menggunakan bahasa yang imajinatif dan terkadang emosional.

Pada dasarnya, semua bidang seni (dalam obrolan ini, Seni Rupa dan Seni Sastra) mempunyai kesamaan yakni dalam proses penciptaannya dilakukan sebagai suatu bentuk “ritual” individu. Namun dalam hasil akhirnya, barulah suatu karya seni bisa menjadi karya yang kolektif ( Seni Pertunjukan).
            Obrolan pusaka malam ini dimulai dengan lontaran wacana“ bagaimana suatu karya sastra menjadi gagasan dalam proses penciptaan karya seni rupa “ . Awal kali disahuti oleh Gayuh Setyono, seorang mahasiswa jurusan Kriya Seni ISI Surakarta. Bahwa, dari pertumbuhannya, Sastra dan Rupa sudah melakukan kolaborasi  bentuk. Seperti yang dilihat di Candi Prambanan  yang reliefnya berangkat dari cerita Ramayana. Sekarang ini, masih banyak perupa yang gagasannya mencoba berangkat dari karya sastra (Gayuh sendiri mempunyai karya yang ide penciptaannya berangkat dari novel Pramudya Ananta Toer). Dalam pelaksanaannya, ungkap Gayuh lebih lanjut, bahwa Kriya dalam konsep-konsepnya adalah suatu pembaktian religi.
Tapi tidak dipungkiri di  wilayah Surakarta, masyarakat pengapresiasi karya Rupa yang berangkat dari sastra atau juga perupa yang idenya berangkat dari sastra masih sangat sedikit. Ini bisa jadi dikarenakan perupanya sendiri yang tidak suka atau bahkan tidak paham dengan suatu karya sastra. Atau bisa juga justru dari masyarakatnya yang mengapresiasi suatu karya rupa hanya melihatnya sebagai hasil akhir bukan sebuah proses estetis. Benarkah seperti itu?
            Seorang hadirin memberi lontaran, adakah sebuah solusi agar masyarakat apresian tidak lagi menanggapi karya rupa hanya sebagai visual serta sastra hanya sebagai wilayah berkata-kata yang indah tapi bisa lebih dari itu?.
            Gayuh dalam menanggapi pertanyaan tersebut, mengaitkan dengan pola pikir masyarakat muda sekarang. Pada masa 2008 kebelakang, di toko-toko buku banyak terpajang buku-buku sastra. Namun sekarang justru yang lebih banyak terpajang malah buku-buku motivasi. Ini bisa saja mencerminkan masyarakat sekarang adalah masyarakat frustasi yang selalu butuh motivasi dari luar dan buka dari dalam diri. Irul memberi pendapat, bahwa memang perupa maupun sastrawan sebaiknya maju mendekati masyarakat. Tapi sebaiknya perupa dan sastrawannya itulah yang terlebih dahulu membekali diri dengan wacana pada bidang masing-masing serta wacana “lintas disiplin”. Adanya demikian, karna kecenderungan sekarang ini dominan para pelaku seni hanya sibuk dengan bidangnya masing-masing tanpa adanya interest terhadap bidang seni yang lain. Sedangkan di luar wilayah Surakarta sudah banyak berkembang bentuk-bentuk seni yang mencoba lintas disiplin.  
            Irul mencoba menanggaskan, bahwa dalam pendewasaan komunitas Cakrawala (kelompok yang tumbuh berkembang dari jurusan Seni Murni ISI Surakarta), sedang mencoba melakukan pendekatan gagasan terhadap bidang sastra. Bahkan katanya, nama Cakrawala sendiri diambil dari kata yang sering muncul dari puisi W.S. Rendra. Inilah juga yang menjadikan Komunitas Cakrawala sangat dekat dengan Seni Pertunjukan.
            Kembali pada benang merah yang diobrolkan, sastra dan seni rupa. Lalu sempat terlontar sebuah istilah “Kriya Murni”. Ialah juga, Kriya Seni punya sebuah bentuk “pemberontakan” yang itu dilakukan untuk menghindarkan kesan bahwa Kriya Seni tidak hanya sebagai produk seni praktis/terapan seperti yang pernah dikatakan oleh Theodor Adorno. Di jaman Kontemporer ini bentuk kesenian lebih banyak perubahannya baik secara kebendaan atau kajian estetiknya, yang lebih dahsyat lagi landasan logikanya. Seperti salah satu bentuk dunia Seni Pertunjukan Rupa -Performance Art/Happening Art- (ada yang mengatakan bentuk ini sudah berdiri sendiri lepas dari kaidah-kaidah Seni Rupa maupun Pertunjukan) sudah begitu luas cakupannya. Di wilayah Surakarta sendiri, masih sedikit kajian ataupun wacana yang berkembang seputar bentuk seni yang ini. Sehingga masyarakat dan juga mahasiswa seni pun masih merasa janggal dengan sajiannya. Yang membuat miris, bahkan pelaku yang katanya sedang melakukan sebuah aksi Performance Art itu terkadang tak tahu apa yang dilakukannya. Briasanda atau yang biasa disapa Robot, mengatakan kalau aksi Peformance Art masih sebatas “dalam rangka”. Kebanyakan hanya pesanan untuk meramaikan pembukaan pameran atau suatu acara yang lain.
            Baiklah. Kita akhiri catatan ini. Sebab ini bukan coretan yang menyimpulkan bahasan. Goresan ini hanya ingin agar kita semakin galau pada apa yang sedang berlaku disekitar kita. Tapi tidak juga bermaksud mengesampingkan uneg-uneg hadirin tadi tentang solusi apa yang sebaiknya kita gunakan untuk mendekatkan seni yang sudah terlanjur terdikotomi oleh pola pikir ilmiah ini kepada masyarakat luas. Kalau memang kita masih berpegang pada TriDharma perguruan tinggi, pengabdian pada masyarakat. Biarlah ini kita bersama mencarinya dan kita lemparkan macam dadu di pusaka-pusaka berikutnya.

Reportase tambahan untuk sajian malam ini ;
  •    Pertama dibuka oleh teman-teman Teater Nglilir (SMAN 1 Karanganyar). Kali ini, Teater nglilir menyajikan reportoar berjudul “Mirah” yang diadaptasi dari cerpen Ping Re-Ke-Teg Gunung Gamping Ambrol karya Seno Gumira Ajidarma.

-Senyum rayuan beracun!-. Itu salah satu dialog yang masih melekat dari sajian malam ini. Ada dua tiang bambu yang berdiri di kedua sisi area pertunjukan. Di sana melekat lampu 5 watt yang kemudian dikendalikan nyala hidupnya oleh pemain. Alur yang dimainkan begitu cepat dengan mengandalkan ketepatan pemain keluar masuk serta memainkan saklar lampu. Pengemasan yang apik meski di ruang pertunjukan yang sederhana. Bahkan mengagetkan, bahwa teman-teman sekolah menengah bisa memanggungkan tema-tema yang sebagian besar orang menjadikannya obrolan “orang dewasa”. -Tidak ada pemerkosa di kampung ini. Mungkin kami memang sebangsa candala, tetapi kami tidak perlu memperkosa di luar kampung ini untuk mendapatkan cinta, karena di kampung ini cinta setelah dibagi rata masih selalu ada sisa-.  Salah satu dialog yang kembali membahana.

Dan begitulah pertunjukan dari Teater Nglilir SMAN 1 Karanganyar yang menampilkan reportoarnya dengan menawan.


  •  Kemudian ditengah obrolan, disengaja rehat sebentar untuk menyaksikan aksi dari kawan-kawan Komunitas Cakrawala. Sebuah kanvas berukuran 2,5 m x 1,5 m di bawa ke area panggung yang sederhana. Beberapa orang mengambil beberapa kertas karton yang kemudian ditempelkan pada canvas yang lalu di semprotkan dengan paintspray hitam. Teknik stensil. Hasil semprotan itu menggurat beberapa grafis wajah tokoh-tokoh sastra. Seperti beberapa yang segera dikenali oleh hadirin; W. S. Rendra, Pramudya Ananta Toer, Chairil Anwar, Sutan Takdir Alisjahbana. Dan ada semprotan wajah legendaris yang sangat lekat di lingkungan ISI Surakarta dan Taman Budaya Jawa Tengah, yaitu Mbah Kodok Ibnu Sukodok juga terstensil di canvas tersebut. Dan tidak selesai disitu. Hadirin pun diminta ikut menaburkan apapun di atas canvas itu menggunakan crayon dan pensil warna. Alhasil penuhlah canvas dengan berbagai kata-kata juga goresan penuh warna.




(ini rangkuman peristiwa tapi bukan kesimpulan)
Ditulis oleh Bureg sebagai pengoceh malam ini

12 Oktober 2012

Viva Sine Arte Deserta



Tanggal 5 november 1992 adalah awal bagi Teater Jejak untuk menjejakkan kakinya di atas panggung perteateran di Surakarta. Kegelisahan-kegelisahan yang senantiasa muncul menjadi suatu embrio yang mendasari semangat berteater . Pun energi yang luar biasa dari beberapa mahasiswa di ISI Surakarta ( kala itu masih bernama STSI Surakarta, tercatat beberapa nama perintis  : Helmi, Heru Prasetya, Suroto Pincuk, Tri Bowo Kadal, Aryo BG, Chrisnyar, Esha Kardus, Hari Sinthu, Nurhadi Gigol, Kanizhar Chan, Erna Handayani Rining, dan Ista BP ) berhasil membentuk pondasi yang kokoh untuk diwariskan, agar dapat didirikan bangunan yang berarti pula tentunya.
Sejak memanggungkan “Mood” karya Kanizhar Chan ( naskah pertama yang digarap) sampai 2 Dasawarsa perjalanannya, Teater Jejak telah berhasil mementaskan 90-an karya, baik dari teater jejak sendiri maupun hasil tulisan orang lain. Tidak adanya keharusan terhadap bentuk garap maupun gaya khas terhadap setiap karya yang dipentaskan, sudah merupakan suatu keterbukaan pada ritme regenerasi Teater Jejak yang mampu diwujudkan. Dan bingkai yang digunakan juga sangatlah berdasar pada bagaimana pemahaman eksplorasi dari tiap individu yang berkarya. Dan memang pada akhirnya ada sesuatu yang harus senantiasa di pahami, sebuah totalitas berteater dan upaya menjaga intensitas. Berbagai benturan merupakan sesuatu yang wajar. Terus mengalir dan biar berbenturan, menyatu dengan peristiwa yang berarti untuk dialiri atau berbelok dari suatu yang menghambat dan membuat kita mandeg. Meskipun beberapa waktu yang lalu Teater Jejak sempat dikatakan berjalan ditempat, hal tersebut merupakan bagian dari proses pertumbuhan pada sebuah kelompok yang ingin terus tumbuh berkembang dan masih berusaha untuk beraktifitas sesuai dengan gaya dan kemampuan yang ada. Sebab eksistensi tanpa aktifitas hanya akan sekedar esensi nihil.