Ngobrolke film dokumenter “Wiwit” karya Aditya Nur Rahmad
Perjalanan Ritual Masa Kini
“Mbok sri sadono wis teko, wis tit wancine diboyong nang omahe pak tani”.
Kalimat tersebut adalah penggalan dari bacaan mantra pada proses ritual panen
padi di wonosari gunung kidul yogyakarta. Ritual ini selalu digelar petani
setempat setiap akan memulai panen padi. Ritual ini merupakan bentuk syukur
kepada Tuhan atas berkah panen padi yang melimpah. Ritual dimulai dengan
menyiapkan ubo rampe atau sesaji
berupa nasi tumpeng, ingkung ayam kampung, bunga mawar, dan sayur kluweh ke
areal persawahan. Ritual dilanjutkan dengan doa yang dipimpin tokoh masyarakat.
Dalam ritual ini, padi yang sudah siap panen dipotong untuk disimpan atau
dijadikan benih pada musim tanam berikutnya. Padi yang dipotong adalah Pari Manten yaitu rumpunan padi yang
saling berhadapan. Biasanya terdapat di pojok atau tengah sawah.
Nusantara
merupakan bangsa kesatuan dengan daerah-daerah yang secara relatif lebih
terbuka terhadap perubahan-perubahan, terutama disebabkan oleh faktor
komunikasi yang memungkinkan lebih cepatnya pembukaan isolasi daerah.
Dalam
tiap masyarakat, baik yang kompleks maupun yang sederhana, terdapat sejumlah
nilai budaya, satu dengan yang lain saling berkaitan hingga membentuk suatu
sistem. Sistem tersebut dijadikan sebagai pedoman dari konsep-konsep ideal
dalam kebudayaan, dan memberi pendorong yang kuat terhadap arah kehidupan warga
masyarakat kemudian menjadi warisan
kebudayaan yang bervariatif dan memiliki ciri berbeda antara wilayah yang satu
dengan lainnya. Namun demikian warisan tersebut ada yang masih lestari dan
terawat dengan baik sampai sekarang dan ada pula yang sedang berjalan menuju
kelangkaan. Setiap masyarakat menciptakan gambaran-gambaran ideal yang
diidam-idamkan mengenai bagaimana seharusnya anggota masyarakat berperilaku,
baik dalam fikiran maupun tindakan.
Pada Pusaka yang ke-8
pada tanggal 11 November 2013, kami memutarkan film dokumenter garapan Aditya
Nur Rahmad yang berjudul “Wiwit” , yang juga dijadikan bahan obrolan sebagai
contoh kasus terkait ritual tradisi masyarakat yang perlahan mulai
ditinggalkan.
Wiwit dalam lingkungan masyarakat Tuban Jawa Timur
adalah laku ritual yang dilaksanakan saat menjelang panen padi. Ritual ini
dilakukan sebagai ungkpan para petani kepada sang pencipta agar selalu melindungi
hasil pertanian mereka dari segala bencana. Masyarakat yang masih melestarikan
ritual Wiwit ini percaya bahwa serangan hama yang berdampak pada gagalnya panen
adalah sebab tidak dilaksanakannnya ritual Wiwit. Selain berfungsi untuk
permohonan agar mendapat perlindungan, ritual Wiwit juga sebagai bentuk rasa
syukur kepada sang pencipta. Diantara apa saja yang akan dilakukan
oleh petani dan kaitannya, mereka sadari sebagai bagian dari makhluk Tuhan.
Diakui pula keberadaan mereka sebagai mahluk Tuban, juga ditakdirkan untuk
berdoa dan mengucapkan rasa syukur kepada penciptanya.
![]() |
salah satu scene dalam film dokumenter Wiwit |
Saat ini, ritual yang sudah turun
temurun tumbuh berkembang dalam masyarakat petani di Tuban perlahan memudar.
Bahkan dalam lingkungan masyarakat petani itu sendiri pun sudah banyak yang
meninggalkannya. Ini terjadi dikalangan petani yang muda. Para petani yang muda
tak lagi melakukan ritual Wiwit tersebut karena mereka beranggapan bahwa melakukan
aktifitas wiwit atau tidak, panen tetap akan berlangsung. Berhasil atau
gagalnya sebuah panen bergantung pada cekatan mereka dalam menggunakan sistem
pertanian modern.
Pada
awalnya, masuknya agama dari luar kedalam masyarakat nusantara tidak serta
merta menghilangkan citarasa dan bentuk pengagungan yang sebelumnya digunakan
dalam kepercayaan-kepercayaan pada masyarakatnya, dengan demikian, terbentuklah
akulturasi antara budaya akar yang
berkaitan dengan kepercayaan leluhur yang di anut serta agama-agama yang datang
kemudian di nusntara.
Namun pada perkembangannya saat ini,
ritual tradisi menjadi kontradiktif saat
berhadapan dengan pola pikir ilmiah, terlebih lagi terhadap suatu bentuk
keyakinan/agama tertentu. Selain disebabkan oleh sistem
bercocok tanam modern, pengikisan terjadi juga karna sebagian masyarakat
mengnggap bahwa ritual-ritualyang dilaksanakan adalah syirik.
Beberapa pelaksanaan ritual yang
masih bertahan saat ini seperti Grebeg Suro dan Grebeg Maulud, disebabkan
karena ritual tersebut diakomodir oleh pihak kraton. Sehingga tata caranya
masih dianggap sebagai warisan yang adiluhung dan patut dilestarikan. Sedangkan
beberapa ritual tradisi yang pengelolanya adalah masyarakat di luar kraton,
bertahan atau tidak ditentukan oleh masyarakat di mana ritual tersebut tumbuh.
Ritual yang berkembang dalam akomodasi kraton, akan sangat sulit memberikan kesan
menyalahi aturan agama sebab masyarakat pelaku sudah terlanjur meyakini bahwa
setiap aktifitas ritual yang ditradisikan oleh kraton adalah lelaku yang agung.
Sedangkan hal tersebut tidak terjadi dalam peristiwa ritual yang di akomodir
masyarakat jauh di luar benteng kraton.
Beberapa seniman-seniman, baik itu
dari seni rupa maupun seni pertunjukan, menjadikannya sebagai ide gagasan dalam
upaya berbicara melalui karya. kolase-kolase peristiwa laku ritual dipetik
untuk dijadikan ornamen karya. Hanya saja sayangnya, usaha para seniman dalam membicarakan peliknya pelstarian laku
ritual tersebut, hanya berhenti pada tataran karya saja dan tidak berkelanjutan
diluar dunia kegelisahannya.
Dalam dunia seni yang akademis,
permasalahan kelangkaan peristiwa ritual tradisi sudah menjadi bahan kajian. Lalu, yang menjadi pertanyaan kita sekarang ialah seberapa
efektif dunia seni yang “akademis” dalam melakukan upaya konservasi budaya?.
Seperti biasanya, pusaka tak membuat suatu kesimpulan. Sebab
jika disimpulkan, sama artinya kami membuat koridor berfikir. Kami mencoba
membebaskan khalayak untuk membuat kesimpulannya masing-masing agar nantinya
hal ini menjadi kegelisahan bersama.
Sampai jumpa dipelaksanaan Pusaka berikutnya. Salam Budaya.
*Notulen - Bureg Sandeq