.

7 Desember 2013

Catatan PUSAKA #8 (11 November 2013)






sanggar jejak surakarta


Ngobrolke film dokumenter “Wiwit” karya Aditya Nur Rahmad
Perjalanan Ritual Masa Kini

 Mbok sri sadono wis teko, wis tit wancine diboyong nang omahe pak tani”. 

Kalimat tersebut adalah penggalan dari bacaan mantra pada proses ritual panen padi di wonosari gunung kidul yogyakarta. Ritual ini selalu digelar petani setempat setiap akan memulai panen padi. Ritual ini merupakan bentuk syukur kepada Tuhan atas berkah panen padi yang melimpah. Ritual dimulai dengan menyiapkan ubo rampe atau sesaji berupa nasi tumpeng, ingkung ayam kampung, bunga mawar, dan sayur kluweh ke areal persawahan. Ritual dilanjutkan dengan doa yang dipimpin tokoh masyarakat. Dalam ritual ini, padi yang sudah siap panen dipotong untuk disimpan atau dijadikan benih pada musim tanam berikutnya. Padi yang dipotong adalah Pari Manten yaitu rumpunan padi yang saling berhadapan. Biasanya terdapat di pojok atau tengah sawah. 

Nusantara merupakan bangsa kesatuan dengan daerah-daerah yang secara relatif lebih terbuka terhadap perubahan-perubahan, terutama disebabkan oleh faktor komunikasi yang memungkinkan lebih cepatnya pembukaan isolasi daerah.

Dalam tiap masyarakat, baik yang kompleks maupun yang sederhana, terdapat sejumlah nilai budaya, satu dengan yang lain saling berkaitan hingga membentuk suatu sistem. Sistem tersebut dijadikan sebagai pedoman dari konsep-konsep ideal dalam kebudayaan, dan memberi pendorong yang kuat terhadap arah kehidupan warga masyarakat kemudian menjadi warisan kebudayaan yang bervariatif dan memiliki ciri berbeda antara wilayah yang satu dengan lainnya. Namun demikian warisan tersebut ada yang masih lestari dan terawat dengan baik sampai sekarang dan ada pula yang sedang berjalan menuju kelangkaan. Setiap masyarakat menciptakan gambaran-gambaran ideal yang diidam-idamkan mengenai bagaimana seharusnya anggota masyarakat berperilaku, baik dalam fikiran maupun tindakan.

            Pada Pusaka yang ke-8 pada tanggal 11 November 2013, kami memutarkan film dokumenter garapan Aditya Nur Rahmad yang berjudul “Wiwit” , yang juga dijadikan bahan obrolan sebagai contoh kasus terkait ritual tradisi masyarakat yang perlahan mulai ditinggalkan.

            Wiwit  dalam lingkungan masyarakat Tuban Jawa Timur adalah laku ritual yang dilaksanakan saat menjelang panen padi. Ritual ini dilakukan sebagai ungkpan para petani kepada sang pencipta agar selalu melindungi hasil pertanian mereka dari segala bencana. Masyarakat yang masih melestarikan ritual Wiwit ini percaya bahwa serangan hama yang berdampak pada gagalnya panen adalah sebab tidak dilaksanakannnya ritual Wiwit. Selain berfungsi untuk permohonan agar mendapat perlindungan, ritual Wiwit juga sebagai bentuk rasa syukur kepada sang pencipta. Diantara apa saja yang akan dilakukan oleh petani dan kaitannya, mereka sadari sebagai bagian dari makhluk Tuhan. Diakui pula keberadaan mereka sebagai mahluk Tuban, juga ditakdirkan untuk berdoa dan mengucapkan rasa syukur kepada penciptanya.

sanggar jejak surakarta
salah satu scene dalam film dokumenter Wiwit

            Saat ini, ritual yang sudah turun temurun tumbuh berkembang dalam masyarakat petani di Tuban perlahan memudar. Bahkan dalam lingkungan masyarakat petani itu sendiri pun sudah banyak yang meninggalkannya. Ini terjadi dikalangan petani yang muda. Para petani yang muda tak lagi melakukan ritual Wiwit tersebut karena mereka beranggapan bahwa melakukan aktifitas wiwit atau tidak, panen tetap akan berlangsung. Berhasil atau gagalnya sebuah panen bergantung pada cekatan mereka dalam menggunakan sistem pertanian modern.

Pada awalnya, masuknya agama dari luar kedalam masyarakat nusantara tidak serta merta menghilangkan citarasa dan bentuk pengagungan yang sebelumnya digunakan dalam kepercayaan-kepercayaan pada masyarakatnya, dengan demikian, terbentuklah akulturasi antara budaya akar  yang berkaitan dengan kepercayaan leluhur yang di anut serta agama-agama yang datang kemudian di nusntara.

            Namun pada perkembangannya saat ini, ritual tradisi menjadi kontradiktif saat berhadapan dengan pola pikir ilmiah, terlebih lagi terhadap suatu bentuk keyakinan/agama tertentu. Selain disebabkan oleh sistem bercocok tanam modern, pengikisan terjadi juga karna sebagian masyarakat mengnggap bahwa ritual-ritualyang dilaksanakan adalah syirik.

            Beberapa pelaksanaan ritual yang masih bertahan saat ini seperti Grebeg Suro dan Grebeg Maulud, disebabkan karena ritual tersebut diakomodir oleh pihak kraton. Sehingga tata caranya masih dianggap sebagai warisan yang adiluhung dan patut dilestarikan. Sedangkan beberapa ritual tradisi yang pengelolanya adalah masyarakat di luar kraton, bertahan atau tidak ditentukan oleh masyarakat di mana ritual tersebut tumbuh. Ritual yang berkembang dalam akomodasi kraton, akan sangat sulit memberikan kesan menyalahi aturan agama sebab masyarakat pelaku sudah terlanjur meyakini bahwa setiap aktifitas ritual yang ditradisikan oleh kraton adalah lelaku yang agung. Sedangkan hal tersebut tidak terjadi dalam peristiwa ritual yang di akomodir masyarakat jauh di luar benteng kraton.

            Beberapa seniman-seniman, baik itu dari seni rupa maupun seni pertunjukan, menjadikannya sebagai ide gagasan dalam upaya berbicara melalui karya. kolase-kolase peristiwa laku ritual dipetik untuk dijadikan ornamen karya. Hanya saja sayangnya, usaha para seniman  dalam membicarakan peliknya pelstarian laku ritual tersebut, hanya berhenti pada tataran karya saja dan tidak berkelanjutan diluar dunia kegelisahannya.

            Dalam dunia seni yang akademis, permasalahan kelangkaan peristiwa ritual tradisi sudah menjadi bahan kajian. Lalu, yang menjadi pertanyaan kita sekarang ialah seberapa efektif dunia seni yang “akademis” dalam melakukan upaya konservasi budaya?.

Seperti biasanya, pusaka tak membuat suatu kesimpulan. Sebab jika disimpulkan, sama artinya kami membuat koridor berfikir. Kami mencoba membebaskan khalayak untuk membuat kesimpulannya masing-masing agar nantinya hal ini menjadi kegelisahan bersama.
Sampai jumpa dipelaksanaan Pusaka berikutnya. Salam Budaya.

*Notulen - Bureg Sandeq 










26 Mei 2013





Tanggal 5 november 1992 adalah awal bagi Teater Jejak untuk menjejakkan kakinya di atas panggung perteateran di Surakarta. Kegelisahan-kegelisahan yang senantiasa muncul menjadi suatu embrio yang mendasari semangat berteater . Pun energi yang luar biasa dari beberapa mahasiswa di ISI Surakarta ( kala itu masih bernama STSI Surakarta, tercatat beberapa nama perintis  : Helmi, Heru Prasetya, Suroto Pincuk, Tri Bowo Kadal, Aryo BG, Chrisnyar, Esha Kardus, Hari Sinthu, Nurhadi Gigol, Kanizhar Chan, Erna Handayani Rining, dan Ista BP ) berhasil membentuk pondasi yang kokoh untuk diwariskan, agar dapat didirikan bangunan yang berarti pula tentunya.
Sejak memanggungkan “Mood” karya Kanizhar Chan ( naskah pertama yang digarap) sampai 2 Dasawarsa perjalanannya, Teater Jejak telah berhasil mementaskan 90-an karya, baik dari teater jejak sendiri maupun hasil tulisan orang lain. Tidak adanya keharusan terhadap bentuk garap maupun gaya khas terhadap setiap karya yang dipentaskan, sudah merupakan suatu keterbukaan pada ritme regenerasi Teater Jejak yang mampu diwujudkan. Dan bingkai yang digunakan juga sangatlah berdasar pada bagaimana pemahaman eksplorasi dari tiap individu yang berkarya. Dan memang pada akhirnya ada sesuatu yang harus senantiasa di pahami, sebuah totalitas berteater dan upaya menjaga intensitas. Berbagai benturan merupakan sesuatu yang wajar. Terus mengalir dan biar berbenturan, menyatu dengan peristiwa yang berarti untuk dialiri atau berbelok dari suatu yang menghambat dan membuat kita mandeg. Meskipun beberapa waktu yang lalu Teater Jejak sempat dikatakan berjalan ditempat, hal tersebut merupakan bagian dari proses pertumbuhan pada sebuah kelompok yang ingin terus tumbuh berkembang dan masih berusaha untuk beraktifitas sesuai dengan gaya dan kemampuan yang ada. Sebab eksistensi tanpa aktifitas hanya akan sekedar esensi nihil.

 info
teater jejak isi surakarta, mulai saat ini menggunakan nama " UKM Jejak ISI Surakarta "
                                                         SALAM BUDAYA
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Ruang Tutur



Kemarin malam, sekitar pukul 19.30 hari sabtu, 16 Maret 2013 di loby bawah gedung F ISI Suarakarta di gelar sebuah acara diskusi atau lebih tepatnya lagi pengajian sastra bertajuk PUSAKA # 7 (Puja Sastra Surakarta). Acara regular setiap bulan ganjil dari sebuah kelompok Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) sanggar Jejak yang mencoba memasuki dunia sastra secara luas untuk kebutuhan pembelajaran di lingkungan kelompok maupun di luar kelompok. Acara ini sudah 7 kali diadakan setiap bulan ganjil. Sedikit mengulas perjalanan PUSAKA, bahwa acara ini sudah mengangkat tema sastra dari sudut pandang yang beragam dan dari disiplin ilmu yang berhubungan. Tema yang sudah pernah diangkat diantaranya kajian puisi, sastra pertunjukan, bedah cerpen, bedah naskah, sastra rupa dan yang baru saja diangkat adalah sastra dalam beragam petuah leluhur yang bertajuk “Petuah, Petatah dan petitih”. Keseluruhan rangkaian PUSAKA yang telah dilalui setidaknya memberi sumbangan berupa wawasan bagi setiap individu yang berada di lingkungan UKM Sanggar Jejak, dan berharap juga bermanfaat untuk publik umum yang sudah meluangkan waktu untuk hadir dalam acara tersebut. Kritik saran atas acara ini pernah kami buka pada saat PUSAKA #6 yang bertajuk “APA DI DALAM TEKS DRAMA” dengan pembicara pada waktu itu adalah seniman teater bpk Gigok Anurogo. Masukan dan kritik yang kami terima pada waktu itu pada intinya adalah  masalah publikasi acara, karena acara PUSAKA yang telah kami lampaui, audiens yang hadir dalam acara tersebut bisa dikatakan tidak memenuhi ruang yang di sediakan. Menelisik acara sastra maupun diskusi sastra yang pernah diadakan oleh instansi kebudayaan, ruang-ruang pertunjukan, ruang seminar, bahkan ruang instansi pendidikan pun audiens atau pengunjung yang datang bisa dihitung dengan jari. Selain acara diskusi sastra, pun pertunjukan kesenian tari, musik, teater dan lain-lain yang ditutup dengan acara diskusi, sebagian pengunjung hanya memilih untuk menikmati keindahan pertunjukan tersebut saja. Melihat fenomena tersebut PUSAKA yang menjadi program regular UKM Sanggar Jejak ISI Surakarta selalu membuka saran dan masukan terhadap acara ini, paling tidak harapan sederhana PUSAKA ini bisa menjalin komunikasi dengan masyarakat civitas akademik ISI Surakarta dan masyarakat seni dan publik secara umum. Ketika komunikasi terjalin dengan baik maka pertukaran dan saling berbagi wacana pengetahuan bisa terjalin di acara PUSAKA ini. 
Media Tutur
Tidak dipungkiri dan memang disadari bahwa ruang tutur atau diskusi, sebagian orang menganggap sesuatu yang mengerikan dan membosankan karena didalamnya sering terjadi adu argumen, lempar kesalahan, perang konsep sampai mulut berbusa. Ruang-ruang dan aktifitas diskusi (atau bisa boleh saya sebut ruang tutur) pada dasarnya bukan aktifivitas saling menjatuhkan bahkan adu konsep dan pemikiran yang berujung pada sebuah penghakiman. Kegiatan diskusi yang bernasib seperti itu malah sering saya jumpai di bidang kesenian. Ada apa dengan ruang tutur kesenian kita ? atau ada apa dengan tutur kita sehingga mengorbankan sisi keindahan dalam sebuah seni?
Budaya tutur atau lisan sebenarnya merupakan media yang efektif bagi kesenian budaya local. Terbukti kesenian budaya Nusantara lahir dan berkembang dari budaya lisan dan tutur. Kebudayaan lisan dan tutur yang sudah ada di Nusantara sejak waktu lampau sekiranya telah bergeser makna ketika dihadapkan dengan ruang diskusi yang sering diadakan di berbagai acara kesenian. Budaya lisan yang harusnya disitu terjalin komunikasi antar penyaji dan pengamat kini berubah menjadi budaya perang idealisme yang tak berujung. Berbicara tentang kesenian, sebenarnya bukan untuk mencari mana yang benar dan mana yang salah, tapi mencari makna dan esensi yang nantinya akan berguna bagi aktifitas kehidupan di panggung maupun di luar panggung. Penyaji sebuah kesenian dalam bentuk apapun  pasti mempunyai maksud dan tujuan tersendiri, entah untuk kebutuhan ekspresi, eksistensi atau media hiburan mapun pendidikan. Lewat kesenian yang dihadirkan atau dipertunjukan seniman atau pelaku seni akan berbicara banyak lewat karyanya. Dari karya itulah sebuah komunikasi terjalin antara seniman dan penonton atau penghayat. Lalu seberapa besar fungsi ruang diskusi atau ruang tutur ketika seniman sudah bicara banyak lewat karyanya ? Di sinilah akhirnya fungsi kriktik seni diperlukan. Kritik seni dalam hal ini bukan berarti mengkritik habis-habisan lalu mencari kesalahan, tapi fungsi kritik seni  lebih menjembatani antara seniman dan pengamat secara keseluruhan atau holistik. Lewat media tutur dan diskusi akan mempermudah fungsi kritik seni bisa berjalan. Pengamat akan lebih paham latar belakang seniman, proses penciptaannya dan latar belakang karya itu dibuat. Pengamat lebih faham secara mendalam dan akan mendapatkan pengalaman seni selain melihat karya yaitu dengan ruang diskusi dan tutur.
ditulis oleh Damar Tri Afrianto 

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Produksi #75 Jejak ISI Surakarta





Laboratodrama 2013

            Laboratodrama adalah salah satu dari beberapa program tahunan Sanggar Jejak ISI Surakarta. Sesuai namanya, program Laboratodrama mencoba mengajak para anggota Sanggar Jejak untuk melakukan laboratorasi, eksplorasi bahkan adaptasi terhadap teks panggung yang digarap. Laboratorasi bisa saja berujung pada pembongkaran anatomi teks tersebut. Muaranya, berlabuh pada berbagai bentuk hidangan garapan sesuai dengan temuan-temuan para penggarap.
            Pencarian serta penawaran yang dilakukan para penggarap, masing-masing berbeda ditiap garapan. Dan memang, sejak berdiri, Sanggar Jejak ISI Surakarta tak pernah memberikan batasan konkrit atas suatu ciri yang harus diamini dalam proses kekaryaan. Justru disinilah tantangannya, sebagaimana mungkin anggota Sanggar Jejak yang menjadi penggarap teks maupun yang didapuk jadi pelaku, selalu memberikan hal yang lain disetiap sajiannya. Laboratorium seperti inilah yang menjadi orientasi program Laboratodrama.
             ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Sang Legenda Panggung Yang Terlupakan





cak Tohir saat ber Monolog Jokasmo di Gedung F ISI Surakarta, 4 April 2013
 (dok: Retno Sayekti Lawu)




Terlahir dari pasangan Asmo dan Sarminah di kampung Kebalen Wetan Surabaya pada tanggal 29 September 1946. Sejak kecil sering diajak bapak nonton pertunjukan sandiwara Mis Cicih/Dardanella di Gedung Stasten di depan kantor pos besar Surabaya, dan gemar nonton Ludruk karna tidak jauh dari rumah ada Tobong tempat Ludruk berpentas, dan juga suka nonton kethoprak serta Wayang Orang.

            Mulai ikut kelompok drama ketika SMP. Di SMP 7 Kolombo Surabaya dan di SMS Trimurti Surabaya, kegiatan kesenian tetap berlanjut disamping kegiatan olahraga sebagai atlit atletik jarak jauh yang langganan menjuarai lari jarak jauh tingkat SMP/SMA se-provinsi. Waktu SMP dan SMA, bergabung dengan kelompok PENSITER (Penggemar Seni Teater Surabaya) bersama Anang Hanani dan Alm. Hari Matrais serta Alm. Susiar yang masih sepupu. Besrsama PENSITER berpentas naskah-naskah Tuan Kondektur, Pinangan, Pasien, Pagar Kawat Berduri Dll. Lulus SMA masuk Fakultas Hukum Universitas Airlangga, hanya dua tahun keluar karna tak ada biaya.

            Pada tahun 1966, sering nonton Srimulat di Taman Hiburan Rakyat Surabaya, sehingga banyak anggota yang kenal termasuk Alm. Budi SR (pelukis Surabaya) dan menjadi anggota tidak resmi. Pada tahun 1967 masuk AKSERA (Akademi Seni Rupa Surabaya) dan resmi bergabung dengan Srimulat sebagai pelukis reklame, melukis cerita-cerita Srimulat. Karna berlatar belakang teater, maka oleh Alm. Pak Teguh ditugaskan sebagai Artistik Panggung, Penata Rias, sekaligus sebagai pemain horor mendampingi Alm. Paimo. Pada tahun 1976, minta ijin keluar  dari Srimulat menuju Jakarta untuk mengerjakan beberapa Film sebagai asisten  Art Director bersama Alm. Pak Sudarsono. Antara lain mengerjakan beberapa film seperti Bandit Pungli ( Sutradara Lilik Sujiyo), Rajawali Sakti (Sutradara Sisworo Gautama), Detektif Dangdut, Binalnya Anak Muda.

            Pada tahun 1978, istirahat sejenak dari film, main-main ke Solo sebab beliau mendengar Srimulat akan membuka cabang di Taman Hiburan Balekambang Solo. Kemudian, oleh Alm.pak Teguh diajak gabung kembali sebagai pemain horor, artistik panggung, penata rias. Lalu kemudian di tugaskan sebagai sutradara sekitar tahun 1980an. Sekitar tahun itu pula, Srimulat Solo pernah manggung di TIM dimana pertama kalinya kelompok Warkop ikut pentas. Setelah itu, di Solo awal masuknya Alm.Gepeng. kemudian ada Srimulat keliling yang anggotanya dari Srimulat Surabaya dan Solo. Kemudian menetap di Taman Ria Senayan Jakarta. Di Srimulat Solo masuk Alm.Basuki, Kadir, Tessi, Timbul, Gogon. Kemudian mereka direkrut ke Srimulat Surabaya dan Jakarta. Pada tahun 1986 Srimulat Solo berpindah ke Taman Tegal Wareng Semarang. Di sana kemudian masuk Nunung dan Polo.

Srimulat Semarang bertahan sampai 1988, karna semua bergabung ke Srimulat Jakarta yang sudah mulai menurun. Ketika awal mulai dikontrak Indosiar, pak Tohir di tugaskan ke Srimulat Surabaya sebagai sutradara , sehingga tidak ikut merasakan menanjaknya pemain-pemain Srimulat Jakarta. Srimulat Surabaya bubar sekitar tahun 2004 dan pak Tohir kembali ke teater dengan bergabung Bengkel Muda Surabaya yang dimulai dengan proses naskah Pesta Pencuri dengan sutradara Zainuri. Kemudian pentas keliling Jawa pada tahun 2008 diantaranya di Taman Budaya Jawa Tengan Surakarta, CCL Bandung,  Teater Populer Jakarta dan berakhir di Festival Seni Surabaya.

Mulai tahun 2009, mulai pentas monolog dan sempat pentas Taman Budaya Jawa Tengah Surakarta dalam acara “Pentas Monolog diatas Usia 50 Tahun”. Memulai monolog garingan Jokasmo pada tahun 2011. Lalu mulai pentas keliling september 2011 yang dimulai dari STAIN Kediri, IAIN Surabaya, Desa Mojowarno Jombang, STIE Pare, STIKIP Pasuruan, UNISDA Lamongan, Universitas Yudarta Pasuruan, SMK Sukorejo Pasuruan, MA Cangakan Gresik. Lalu pada agustus 2012 mengisi acara pada Festival Monolo di Teater Ruang Solo dan UNIRO Tuban. Kemudian beristirahata sejenak karena memasuki Ramadhan dan Idul Fitri. Setelah itu melanjutkan pentas keliling mulai 15 September 2012 di STAIN Pekalongan, ISI Yogyakarta, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, SMK 17 Magelang, Desa Langon Jepara,UMK Kudus, di Teater SS UNNES Semarang, STSI Bandung, UNSUD Purwokerto, kemudian 29 Desember 2012 di UNDAR Jombang.

Awal Januari 2013 ikut menggarap film dokumenter bersama Zainuri di Surabaya. Setelah itu melanjutkan Monolog Jokasmo di mulai desa Lowayu Gresik, desa Tebuwun Dukun Gresik. Awal Februari ikut sebagai pemain di sebuah film indie bersama kelompok LOL Udinus Semarang. Setelah itu lanjut lagi dengan Jokasmo di Tegal, UNEJ Jember, Genteng Banyuwangi, lalu kembali ke Jepara, IAIN Surakarta, STAIN Purwokerto, SMP/SMK Pegandon Pekalongan. Lalu tampil sebagai eksebisi di penutupan Festival Monolog Bahasa Jawa di UNNES Semarang. Kemudian 4 April 2013 di Gedung F ISI Surakarta. Dan masih akan berlanjut di beberapa kota lainnya.
(diketik ulang oleh buregsandeq, langsung dari tulisan tangan pak Tohir di Sanggar Jejak Surakarta)
(photo oleh Retno Sayekti Lawu)
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Pujangga Sastra dalam Kacamata Seni


Sebuah kain kanvas putih berukuran 2 x 1 meter terpampang di depan puluhan peserta Pusaka (Puja Sastra Surakarta). Beberapa anak muda kreatif dari komunitas Cakrawala kemudian menempelkan sebuah kertas yang sudah digunting dan sudah membentuk pola. Pemuda lainnya menyemprotkan cairan pewarna pilog pada kertas tersebut. 
Setelah kertas ditarik ternyata tercetak sebuah wajah yang tak asing di dunia sastra yakni pujangga besar keraton Ronggo Warsito. Setelah selesai dengan proyek pertamanya, mereka pun kembali melakukan hal yang sama hingga kain kanvas yang semula kosong kini telah berisi wajah beberapa tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam dunia sastra Indonesia.
Mereka yakni Pujangga Baru Sutan Takdir Alisjahbana, pujangga angkatan 45 yakni Chairil Anwar, pujangga angkatan 66 WS Rendra, novelis Pramudya Ananta Toer, sastrawan dan jurnalis Gunawan Muhammad hingga penyair jalanan Ibnu Sukodok (Pak Kodok).
Kanvas yang dipenuhi oleh wajah-wajah tokoh ini pun masih diisi dengan tulisan karya mereka. Seperti salah satunya puisi berjudul Aku karya Chairil Anwar. “Keberadaan tokoh beda generasi, dengan beda masa tetapi memiliki karya berupa syair ini seperti sebuah simbolisasi bahwa semua orang adalah penyair,” ungkap Irul ketua Cakrawala.
Acara yang digelar teater Jejak di Gedung F ISI Surakarta pada hari Selasa (20/11) ini mengambil tema Sastra dalam Kacamata Seni Rupa. Tema ini diambil lantaran sebenarnya ada benang merah antara seni rupa dengan sastra. “Tidak perlu mengeksklusifkan diri. Tidak perlu terlalu mengotak-otakkan seni. Jika perbedaan disatukan ternyata justru lebih memperkaya,” ungkap Damar, ketua Teater Jejak.
Selain komunitas Cakrawala, pada acara Pusaka yang diadakan oleh teater Jejak setiap bulan ganjil ini juga menampilkan penampilan teater dari kelompok SMA 1 Karanganyar, teater Nglilir. Pada penampilannya teater Nglilir membawakan pertunjukan teater singkat dengan judul Mirah. n Rahayu Astrini


(sumber: edisicetak.joglosemar.co/berita/pujangga-sastra-dalam-kacamata-seni)

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Sepintas Jejak Jokasmo

“Aku menjalaninya sesuai arahan Sang Sutradara hidup ini.
Karna, aku hidup dalam kehidupan ini”.

Begitulah Jokasmo menyimpulkan perjalanan hidupnya yang di nikmati dari panggung ke panggung. Sebuah bentuk ibadah sosial maupun spiritual yang indah. Jokasmo, tokoh yang direliefkan oleh cak Tohir ini, menjadi cerminan sosok tua yang “terpinggirkan” dan menjadi saksi sisa kejayaan panggung tradisi.
Cak Tohir, tak asing bagi para pecinta Srimulat yang jaya sejak tahun 60 an. Cak Tohir yang telah berusia 67 pada tahun ini, mengawali kariernya di panggung Srimulat di Taman Hiburan Rakyat Surabaya. Perannya sebagai drakula dalam panggung Srimulat langsung ditunjuk oleh almarhum pak Teguh Slamet Rahardjo, pendiri kelompok teater legendaris dari Solo.
Berbekal tekad yang lahir dari kecintaannya terhadap panggung, beliau melakukan pertunjukan keliling beberapa kota dan menjadi aktor monolog. Beliau menyatakan bahwa dirinya serta tapak-tapak hidupnya telah menjadi naskah itu sendiri. Sekalipun kini yang digeluti adalah dunia monolog yang notabene adalah salah satu bentuk seni pertunjukan modern, namun perbincangan Cak Tohir tidak pernah lepas dari semangat dunia seni pertunjukan tradisi.
Beliau terus mengupayakan berbagai adaptasi ditiap pertunjukan yang telah dikelilingkan pada berbagai kota. Tiadanya kesaklekan pada tiap pertunjukannya merupakan ciri yang mencoba dijajaki cak Tohir selama ini. Hal inilah yang menjadikan setiap pemanggungan Jokasmo selalu mengandung hal-hal yang baru, baik itu teksnya ataupun aksi lakunya. Sebab, beliau yakin, apa yang dilaksanakannya adalah naskah kehidupan yang disodorkan padanya oleh sang mahasutradara.
Jika apa yang diyakini dan dijalani cak Tohir selama ini mampu membuka pikiran banyak orang terhadap karakter panggung tradisi yang mampu beradaptasi dengan perkembangan pemanggungan, bisa jadi hal ini akan menjadi pola baru atau bahkan menjadi gaya khas seni pertunjukan indonesia.
salambudaya;
buregsandeq [sie.litbang~sanggar jejak isi surakarta]

Press Release

Pertunjukan Monolog
Jokasmo
(inspirasi dari teks Nyanyian Angsa karya Anton Chekov)
-Cak Tohir (Srimulat) –
“Aku menjalaninya sesuai arahan Sang Sutradara hidup ini. Karna, aku hidup dari hidup ini”. Begitulah Jokasmo menyimpulkan perjalanan hidupnya yang di nikmati dari panggung ke panggung. Sebuah bentuk ibadah sosial maupun spiritual yang indah. Jokasmo, tokoh yang direliefkan oleh cak Tohir ini, menjadi cerminan sosok tua yang “terpinggirkan” dan menjadi sisa kejayaan panggung tradisi.
Cak Tohir, tak asing bagi para pecinta lawakan Srimulat yang eksis sejak tahun 60 an. Perannya sebagai drakula dalam panggung Srimulat  langsung dipilih sendiri oleh pendiri grup teater legendaris asal Solo, almarhum Teguh Slamet Rahardjo. Pria 67 tahun ini mengawali kariernya di panggung srimulat di Taman Hiburan Rakyat Surabaya.
Berbekal tekad yang lahir dari kecintaannya terhadap panggung, beliau melakukan pentas keliling beberapa kota dan menjadi aktor monolog. Beliau menyatakan bahwa dirinya telah menjadi naskah itu sendiri. Sekalipun kini yang digeluti adalah dunia monolog yang notabene adalah salah satu bentuk seni pertunjukan modern, namun perbincangan Cak Tohir tidak pernah lepas dari semangat dunia panggung seni tradisi.
Sehubungan dengan itu, Sanggar Jejak ISI Surakarta mengundang cak Tohir agar sekiranya sudi mementaskan Jokasmo ke dalam program Rentjang Rawuh. Jika demikian, pada program Rentjang Rawuh ini, pertunjukan monolog Jokasmo tersebut akan menjadi pertunjukan yang ke-32 dari pertunjukan monolog keliling cak Tohir. Di gedung F ISI Surakarta, tanggal 4 Maret 2013, pukul 19.30 WIB , Jokasmo kembali melenggang dengan keriangan jula-julinya.


info : bureg sandeq ( 0817 943 1038 ) 
sangjejaksurakarta@gmail.com