Kemarin malam, sekitar pukul 19.30 hari sabtu, 16 Maret 2013 di loby bawah gedung F ISI Suarakarta di gelar sebuah acara diskusi atau lebih tepatnya lagi pengajian sastra bertajuk PUSAKA # 7 (Puja Sastra Surakarta). Acara regular setiap bulan ganjil dari sebuah kelompok Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) sanggar Jejak yang mencoba memasuki dunia sastra secara luas untuk kebutuhan pembelajaran di lingkungan kelompok maupun di luar kelompok. Acara ini sudah 7 kali diadakan setiap bulan ganjil. Sedikit mengulas perjalanan PUSAKA, bahwa acara ini sudah mengangkat tema sastra dari sudut pandang yang beragam dan dari disiplin ilmu yang berhubungan. Tema yang sudah pernah diangkat diantaranya kajian puisi, sastra pertunjukan, bedah cerpen, bedah naskah, sastra rupa dan yang baru saja diangkat adalah sastra dalam beragam petuah leluhur yang bertajuk “Petuah, Petatah dan petitih”. Keseluruhan rangkaian PUSAKA yang telah dilalui setidaknya memberi sumbangan berupa wawasan bagi setiap individu yang berada di lingkungan UKM Sanggar Jejak, dan berharap juga bermanfaat untuk publik umum yang sudah meluangkan waktu untuk hadir dalam acara tersebut. Kritik saran atas acara ini pernah kami buka pada saat PUSAKA #6 yang bertajuk “APA DI DALAM TEKS DRAMA” dengan pembicara pada waktu itu adalah seniman teater bpk Gigok Anurogo. Masukan dan kritik yang kami terima pada waktu itu pada intinya adalah masalah publikasi acara, karena acara PUSAKA yang telah kami lampaui, audiens yang hadir dalam acara tersebut bisa dikatakan tidak memenuhi ruang yang di sediakan. Menelisik acara sastra maupun diskusi sastra yang pernah diadakan oleh instansi kebudayaan, ruang-ruang pertunjukan, ruang seminar, bahkan ruang instansi pendidikan pun audiens atau pengunjung yang datang bisa dihitung dengan jari. Selain acara diskusi sastra, pun pertunjukan kesenian tari, musik, teater dan lain-lain yang ditutup dengan acara diskusi, sebagian pengunjung hanya memilih untuk menikmati keindahan pertunjukan tersebut saja. Melihat fenomena tersebut PUSAKA yang menjadi program regular UKM Sanggar Jejak ISI Surakarta selalu membuka saran dan masukan terhadap acara ini, paling tidak harapan sederhana PUSAKA ini bisa menjalin komunikasi dengan masyarakat civitas akademik ISI Surakarta dan masyarakat seni dan publik secara umum. Ketika komunikasi terjalin dengan baik maka pertukaran dan saling berbagi wacana pengetahuan bisa terjalin di acara PUSAKA ini.
Media Tutur
Tidak
dipungkiri dan memang disadari bahwa ruang tutur atau diskusi, sebagian orang
menganggap sesuatu yang mengerikan dan membosankan karena didalamnya sering
terjadi adu argumen, lempar kesalahan, perang konsep sampai mulut berbusa.
Ruang-ruang dan aktifitas
diskusi (atau bisa boleh saya
sebut ruang tutur)
pada dasarnya bukan aktifivitas saling menjatuhkan bahkan adu konsep dan
pemikiran yang berujung pada sebuah penghakiman.
Kegiatan diskusi yang bernasib seperti itu malah sering saya
jumpai di bidang kesenian. Ada apa dengan ruang tutur kesenian kita ? atau ada
apa dengan tutur kita sehingga mengorbankan sisi keindahan dalam sebuah seni?
Budaya
tutur atau lisan
sebenarnya merupakan media yang efektif bagi kesenian budaya local. Terbukti
kesenian budaya Nusantara lahir dan berkembang dari budaya lisan dan tutur.
Kebudayaan lisan
dan tutur yang sudah ada di Nusantara sejak waktu lampau sekiranya telah bergeser makna ketika
dihadapkan dengan ruang diskusi yang sering diadakan di berbagai acara
kesenian. Budaya lisan
yang harusnya disitu terjalin komunikasi antar penyaji dan pengamat kini berubah
menjadi budaya perang idealisme yang tak berujung.
Berbicara tentang kesenian,
sebenarnya bukan untuk mencari mana yang benar dan mana yang salah, tapi
mencari makna dan esensi yang nantinya akan berguna bagi aktifitas kehidupan di panggung maupun di luar panggung.
Penyaji sebuah kesenian dalam bentuk apapun
pasti mempunyai maksud dan tujuan tersendiri, entah untuk kebutuhan
ekspresi, eksistensi atau media hiburan mapun pendidikan. Lewat kesenian
yang dihadirkan atau dipertunjukan seniman atau pelaku seni akan berbicara
banyak lewat karyanya.
Dari karya itulah sebuah
komunikasi terjalin antara seniman dan penonton
atau penghayat. Lalu seberapa besar fungsi ruang diskusi atau ruang tutur
ketika seniman sudah bicara banyak lewat karyanya ? Di sinilah akhirnya fungsi
kriktik seni diperlukan. Kritik seni dalam hal ini bukan berarti mengkritik habis-habisan lalu
mencari kesalahan, tapi fungsi kritik seni
lebih menjembatani antara seniman dan pengamat secara keseluruhan atau holistik.
Lewat media tutur dan diskusi akan mempermudah fungsi kritik seni bisa
berjalan. Pengamat akan lebih paham latar belakang seniman, proses
penciptaannya dan latar belakang karya itu dibuat. Pengamat lebih faham secara
mendalam dan akan mendapatkan pengalaman seni selain melihat karya yaitu dengan
ruang diskusi dan tutur.
ditulis oleh Damar Tri Afrianto
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar